PERAN KADER SEBAGAI PMO DALAM KEBERHASILAN PENGOBATAN TBC

Tuberkulosis (TBC) adalah sebuah penyakit yang disebabkan karena infeksi bakteri yang terjadi pada saluran pernapasan. Adapun jenis bakteri yang menyebabkan infeksi tersebut merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu yang lama untuk mengobatinya. Selain itu bakteri ini juga sangat sering kali menginfeksi organ paru-paru (90%) dibandingkan organ tubuh lainnya. TBC merupakan pembunuh nomor dua terbesar setelah HIV/AIDS di seluruh dunia dan ditetapkan sebagai penyakit menular dan berbahaya yang dapat disembuhkan dengan pengobatan teratur.

Sebuah permasalahan seputar TBC yang sangat penting disoroti dan masih menjadi ancaman dalam pengendalian TBC yakni mengenai Tuberkulosis Resisten Obat (TBC RO). Berdasarkan data dari WHO Global TBC Report tahun 2020, kasus TBC RO di dunia pada tahun 2018 dilaporkan sebanyak 186.000, dengan sejumlah 156.071 kasus melakukan pengobatan. Indonesia termasuk 30 negara dengan kasus TBC RO tertinggi. Di Indonesia, estimasi TBC RO adalah 2,4% dari seluruh pasien TBC baru dan 13% dari pasien TBC yang pernah diobati dengan total perkiraan insiden kasus TBC RO sebesar 24.000 atau 8,8/100.000 penduduk. Keberhasilan pengobatan TBC RO di Indonesia yang dilaporkan yaitu sebesar 48% lebih rendah dari angka keberhasilan pengobatan di dunia (56%).

Pengobatan TBC RO di Indonesia diatur dalam Permenkes RI Nomor 13 Tahun 2013 tentang Pedoman Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat. Pengobatan TBC RO membutuhkan waktu lama selama 6 bulan setelah terjadi konversi biakan. Pasien mendapat obat oral setiap hari, dan suntikan diberikan 5 hari dalam seminggu. Namun, pada bulan Mei tahun 2016 WHO merekomendasikan pengobatan TBC RO yang baru, yaitu menggunakan panduan jangka pendek yang bertujuan untuk mengefektifkan masa pengobatan pasien agar tidak terlalu lama sehingga dapat mengurangi pasien yang putus berobat dengan durasi pengobatan yang lebih pendek dengan efektif itas hasil pengobatan yang lebih cepat.

Keberhasilan pengobatan pada pasien TBC RO berkaitan erat dengan kepatuhan pengobatan.  Salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien dalam menelan obat adalah adanya PMO (Pengawas Menelan Obat). Hakikatnya ketaatan pasien merupakan faktor kunci keberhasilan pengobatan. Salah satu panduan dari DOTS (Directly Observed Treatment Shortcouse) adalah panduan OAT (Obat Anti Tuberkulosis) jangka pendek dengan pengawasan langsung. Keadaan yang menjamin keteraturan pengobatan diperlukan adanya pengiringan PMO untuk menjamin keteraturan dan kepatuhan pengobatan penderita dengan standar pelayanan yang mengacu pada International Standart for Tuberculosis Care (ISTC) bertujuan mengendalikan tantangan baru yang ditimbulkan penyakit TBC seperti ko-infeksi TB/HIV, TBC yang resisten obat baik MDR atau XDR, Total DR (Total Drug Resistence) serta pencegahan dalam terjadinya penderita mengalami putus berobat (Loss to follow-up).

Berdasarkan PMK Nomor 67 Tahun 2016, PMO Tuberkulosis Paru adalah seseorang yang dipercaya untuk memantau penderita TB paru untuk minum obat secara teratur. Tujuannya adalah untuk memastikan penderita TB Paru minum obat secara lengkap dan teratur serta melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai jadwal, mencegah penderita TB Paru mangkir atau putus berobat dan mengenali dengan cepat terjadinya efek samping OAT pada penderita. PMO adalah seseorang yang dekat dengan pasien TBC yang dengan sukarela mau terlibat dalam pengobatan pasien TBC hingga dinyatakan sembuh oleh tenaga kesehatan dan bisa juga orang yang peduli dan sukarela mau terlibat dalam pengobatan pasien TBC Tugas PMO ialah mendukung dan mensukseskan berlangsungnya pengobatan penyakit TBC. Oleh sebab itu, PMO merupakan faktor pendukung untuk membantu proses kesembuhan pasien TBC.

Persyaratan PMO

PMO dapat dilakukan oleh perawat, dokter, bidan desa, atau tenaga kesehatan lainnya, anggota keluarga dan kader kesehatan. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Persatuan Pemberantas Tuberkulosa Indonesia (PPTI), PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarganya. Untuk menjadi PMO pasien TBC juga diperlukan kriteria dan syarat sebagai berikut:

PMO yang baik wajib memiliki kriteria, sebagai berikut:

a. Sehat jasmani dan rohani.

b. Bisa membaca dan menulis.

c. Bisa berkomunikasi dengan baik.

d. Tinggal dekat dengan pasien positif TBC.

e. Dihormati, disegani, dan disetujui oleh pasien positif TBC.

f.  Bersedia mendampingi pasien dalam pengobatan di Faskes (Fasilitas Kesehatan) rujukan.

g. Bersedia menerima penyuluhan dari petugas atau kader dalam pengobatan pasien TBC.

Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati pasien.

                a. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.

                b. Bersedia membantu pasien dengan sukarela.

                c. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien.

Peran PMO TBC antara lain:

      a.  Mengawasi penderita TB paru minum obat secara teratur sampai selesai

      b. Memberikan motivasi untuk minum obat secara teratur

      c. Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak

      d. Melakukan edukasi kepada keluarga penderita terkait tanda gejala dan pencegahan TB Paru

Tugas PMO

Berdasarkan Berdasarkan PMK Nomor 67 Tahun 2016 dan Kemenkes RI Tahun 2020, edukasi yang harus dilakukan oleh PMO adalah:

1. Melakukan edukasi bahwa TB Paru disebabkan oleh kuman dan mematahkan stigma masyarakat yang

    menyebutkan TB Paru merupakan penyakit keturunan

2. TB Paru dapat disembuhkan dengan melakukan pengobatan secara teratur

3. Melakukan edukasi efek samping minum obat TB Paru

4. Melakukan edukasi cara pemberian pengobatan

5. Melakukan edukasi pentingnya melakukan pengawasan minum obat TB Paru

Tugas seorang PMO yaitu:

1.      Mendampingi orang yang memiliki gejala TBC untuk memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan.

2.      Memastikan pasien TBC meminum obat secara teratur hingga dinyatakan sembuh.

3.      Memantau pengobatan pasien TBC termasuk efek samping pengobatan.

4.      Mendorong pasien TBC untuk melakukan pemeriksaan ulang dahak

5.      Memberikan penyuluhan kepada TBC kepada pasien TBC, keluarga dan masyarakat umum.

6.      Memberikan dukungan psikososial pada pasien.

7.      Memberitahu pasien hal yang harus dan tidak boleh dilakukan; seperti menggunakan masker saat di rumah maupun keluar dan harus menutup mulut saat batuk.

 PMO sebaiknya dilakukan oleh orang terdekat penderita TBC yang mempunyai intensitas komunikasi yang tinggi. Selain itu, seorang PMO perlu didasari dengan pengetahuan yang cukup, karena perannya tidak hanya memastikan pasien disiplin dengan regimen pengobatannya, namun dapat memberikan informasi yang berkaitan dengan efek samping obat, perilaku pencegahan dan pentingnya pemeriksaan dahak berulang.

 

 

Bagikan:

Responses