Perjuangan Ibu Desi, Orang dengan TBC yang Bangkit dari Keterpurukan

Dokumentasi PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI
Dokumentasi PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI

Jakarta – Ibu Desi, 43 tahun, merupakan sebuah bukti bahwa  tuberkulosis (TBC) adalah penyakit yang bisa disembuhkan dan dapat  dan tidak selamanya menjadi momok yang menyeramkan bagi mereka yang memiliki kemauan untuk minum obat.

Kala itu pada tahun 2017, dunia terasa runtuh bagi Bu Desi setelah mengetahui bahwa ia didiagnosis positif Tuberkulosis Multidrug Resistance (TBC MDR). Batuk berkepanjangan yang tak kunjung sembuh, di sertai dengan berat badan yang menurun dan  berkeringat di malam hari menjadi gejala utama yang Bu Desi rasakan. “Saya terkena TBC pada bulan Juli 2017, penyebabnya waktu itu ada benjolan di leher sebelah kanan dan ada hyperthyroid juga. BB saya juga menurun lalu batuk yang tidak kunjung sembuh dan berkeringat di malam hari,” ucapnya.

Setelah didiagnosis terkena TBC, Ibu Desi akhirnya memutuskan memulai pengobatan pada bulan November 2017. “Saya menjadi pasien TBC selama 20 bulan, mulai pengobatan saya di bulan November tahun 2017. Untuk pengobatan jangka pendek saya gagal setelah sebulan vakum minum obat dan akhirnya saya memulai lagi pada akhir Desember 2017 sampai Agustus 2019,” jelasnya.

Namun, perjuangan Ibu Desi untuk terbebas dari TBC tidaklah mudah. Terkadang, ia harus menelan pil pahit akibat diskriminasi yang dirasakan baik di lingkungan rumah maupun lingkungan kerjanya. “Saat saya mengalami penyakit TBC waktu itu saya bekerja sebagai Lembaga Masyarakat Kelurahan (LMK) di kelurahan dan setelah mereka tahu dengan penyakit saya hadapi, perlahan mereka mulai menjauh dan kemudian posisi saya digantikan. Dilingkungan sekitar pun sama saya dijauhkan dan anak saya saat itu juga dijauhkan oleh temannya karena ibunya sedang sakit menularkan,” jelas Bu Desi.

Tentunya tak dapat dipungkiri bahwa kejadian tersebut membuat Ibu Desi sangat sedih dan terpukul dengan keadaannya. Bahkan, beliau pernah terbesit untuk mengakhiri hidupnya agar anak-anaknya dapat kembali bermain bersama temannya. Situasi suami yang dikeluarkan dari pekerjaan karena harus mengurusnya yang sedang berjuang untuk sembuh juga membuat Ibu Desi tertekan dan merasa sedih. Adanya efek samping obat seperti mual dan pusing selama 8 jam  pun harus beliau lalui setiap harinya. Terlebih dengan efek samping obat yang lain seperti kaki yang terasa kebas, pendengaran yang mulai berkurang, mata mulai rabun, kulit menghitam yang dirasakan hingga beliau tidak bisa mengerjakan tugas rumah selama 8 bulan.

Terlepas dari segala efek samping obat yang dialami, tak membuat Ibu Desi putus asa dan menyerah untuk melawan penyakit tersebut. Dukungan dari keluarga terutama suami dan anak yang menjadikan Bu Desi kuat berjuang hingga akhir pengobatan. “Suami lah yang menguatkan saya untuk bisa bangkit dan percaya bahwa saya pasti sembuh. Anak pertama saya juga selalu mensupport saya bahwa mamah pasti sembuh, dia selalu memberikan nilai terbaik kepada saya dan anak kedua saya pun sama selalu memberikan nilai terbaik kepada saya. Bahkan anak ketiga yang sedang lucunya membuat saya bangkit, dan itulah titik balik saya untuk berfikir positif bahwa saya mampu dan bisa mewujudkan impian anak-anak saya dengan sembuh dari sakit ini,” pungkasnya.

Setelah perjuangan panjang, Bu Desi pun dapat sembuh dari TBC dan langsung mendedikasikan dirinya sebagai aktivis TBC di organisasi PETA (Pejuang Tangguh) TBC. Beliau tertarik dan ingin bergabung dengan PETA karena organisasi PETA yang selalu menjadi penyemangatnya dalam pengobatan dan ia juga ingin membantu pasien-pasien TBC agar berkenan untuk  berobat sampai tuntas. “Saat ini, saya melakukan pendampingan pasien TBC di wilayah saya. Saya ingin melakukan balas budi kepada organisasi PETA yang telah membantu saya untuk berjuang  bebas dari TBC,” tambahnya.

Selain itu, di akhir pembicaraan, beliau berpesan kepada seluruh masyarakat untuk tidak menyudutkan pasien yang sedang berusaha sembuh dari TBC. Pasien TBC yang sedang menjalani pengobatan tidak akan pernah menularkan kecuali jika pasien TBC tidak diobati. Dukunglah dan beri semangat kepada mereka untuk sembuh. Dan semoga, sektor pemerintah juga dapat lebih memperhatikan lagi pasien TBC dan merangkul mereka agar tidak  minder dan takut dengan penyakit yang dialaminya.

Penulis: Winda Eka Pahla Ayuningtyas

Bagikan:

Responses