Seni, Demokrasi dan Pengetahuan Sehari-hari

Penulis: Lian Gogali dan Luna Kharisma (Peretas)

Bermula dari percakapan antara Lian Gogali, Luna Kharisma, Rezky Chiki dan Citra Hasan Nasution, catatan ini ditulis. Refleksi Lian berangkat dari pengalaman Chiki yang merupakan juru bahasa isyarat bagi orang Tuli. Baginya, percakapan dengan Chiki bisa disarikan sebagai proses belajar demokrasi orang dengar dari dunia Tuli. Cara pandang orang dengar seolah bisa mendefinisikan seluruh isi semesta. Padahal tidak. Orang Tuli melengkapi cara pandang kita, orang dengar, yang serba kurang. Penggunaan kata Tuli juga secara sadar dilandasi sebuah kritik atas istilah ‘tuna rungu’ yang memaknai kondisi fisik yang lain sebagai kekurangan, ketidaksempurnaan, yang menjadi dasar untuk diskriminasi yang lain.

Dunia orang Tuli yang tentu saja tidak tunggal ini seringkali ‘dipaksa’ untuk mengikuti budaya orang dengar, mengesampingkan bahasa isyarat yang sudah lahir. Melalui budaya yang muncul dari orang dengar yang bermental audist ini, orang Tuli bukannya mendapat perlakuan setara sebagai manusia, tapi justru mendapat iba, dianggap tidak berdaya. Celakanya, negara juga mereproduksi cara pandang ini, melalui Undang-undang No. 4 tahun 1997, tentang penyandang cacat. Meski muncul UU No. 19 Tahun 2011 yang meratifikasi konvensi hak-hak penyandang disabilitas, namun ia dilihat masih merujuk pada UU sebelumnya. Salah satu kritik pada UU ini adalah pada aksesibilitas kebutuhan difabel. Advokasi para aktivis atas isu difabel menghasilkan UU nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun, implementasi di lapangan belum berjalan.

Belajar mendengar dari dunia Tuli berarti belajar memahami. Pemahaman akan mengantarkan kita pada keputusan dan tindakan, termasuk dalam situasi pandemi. Spirit ini justru perlu digarisbawahi di tengah demokrasi, yang seharusnya berjalan di antara dunia dengar dan dunia Tuli. Bahwa mendengar bukan semata kemampuan untuk mendengar suara-suara secara harfiah, tetapi lebih memahami suara-suara yang hadir dengan berbagai bentuknya, baik dari bahasa suara ataupun gerak.

Selain Lian, Luna juga menuangkan poin pembelajaran dan refleksinya melalui tulisan berjudul ‘Merawat Alam, Melawan Ketidakadilan’. Tulisan ini lahir dari percakapannya dengan Lian Gogali, yang tak pernah patah semangat bergerak bersama ibu-ibu melalui Institut Mosintuwu yang berlokasi di Tentena, Poso. Gerakan yang semakin sigap dengan aksi solidaritasnya di tengah pandemi. Pandemi yang disikapi dengan kerja bersama dan melihat kembali perspektif atas kesejahteraan dan relasi manusia dengan alam.

Jauh sebelum pandemi, gerakan ini Lian munculkan untuk menjadi bagian dari solusi atas serangkaian persoalan yang hidup di masyarakat paska konflik di Poso. Bersama dengan para perempuan, Lian menghidupkan demokrasi dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan pengetahuan tersituasi, yang telah tumbuh bersama dengan tubuh sosial warga di sekitarnya. Di antara kerja pengorganisasian dan pemberdayaan bersama, Lian tidak pernah lengah dengan praktik politik bahasa yang menjadi bagian dari perjuangan bersama.

Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).

Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.

Bagikan:

Responses