Potret Demokrasi Konstitusional dalam UU Minerba dan Implikasinya Terhadap Tata Kelola Pertambangan

Penulis: Akmaluddin Rachim (PusHep)

Di antara potensi sumber daya alam Indonesia ialah mineral dan batu bara (Minerba). Data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) menyebutkan bahwa per Desember 2019, total keseluruhan sumber daya batu bara Indonesia mencapai 149 miliar ton. Dari total tersebut, cadangan batu bara mencapai 37,6 miliar ton. Potensi tersebut seharusnya memberikan efek domino (multiplier effect) kepada rakyat serta kemajuan bagi bangsa dan negara. Tata kelola pertambangan Minerba diatur melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Beberapa hal penting yang diatur dalam revisi UU Minerba di antaranya adalah kewenangan perizinan, perpanjangan izin, luas wilayah dan jangka waktu kegiatan usaha pertambangan, pengaturan terhadap Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan aspek lingkungan, hilirisasi, divestasi, hingga pengaturan untuk memperkuat badan usaha milik negara (BUMN). Dalam bagian ini, penulis menyoroti bagian terkait dengan kewenangan perizinan dan perpanjangan izin kegiatan usaha pertambangan. Pertama, terkait dengan kewenangan pengelolaan dan perizinan kegiatan penguasaan pertambangan Minerba. Kedua, terkait dengan perpanjangan izin operasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 169A UU No. 3 Tahun 2020. Akan tetapi, proses pembentukan UU ini dinilai tidak memenuhi asas demokrasi dan keadilan. Ada beberapa problem mendasar serta pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dalam pembentukan UU Minerba. Pertama, terkait dengan rancangannya yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). Kedua, pembahasan RUU Minerba dilakukan secara tertutup. Ketiga, pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keempat, rapat dan pengambilan keputusan dalam Rapat Kerja Komisi VII dan Rapat Paripurna DPR tidak memenuhi syarat karena dilakukan secara virtual.

Atas berbagai temuan tersebut, diharapkan Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengakomodasi atau menggunakan pendekatan judicial activism dalam memberikan pertimbangan hukum terkait gugatan judicial review UU Minerba terhadap UUD NRI Tahun 1945. Hal itu tentu dengan pengecualian dalam memenuhi batasan-batasan tertentu sesuai prinsip virtue jurisprudence.

Gugatan judicial review UU Minerba merupakan perkara yang kebijakannya terkait dengan sektor ekonomi. Perkara tersebut juga banyak merugikan hak konstitusional warga negara. Dalam perkara a quo, terlihat secara nyata pelanggaran hukum terhadap asas pembentukan undang-undang dan substansi yang diatur cenderung merugikan negara berdasarkan pendekatan pembangunan nasional berkelanjutan. Oleh sebab itu, perihal gugatan tersebut layak diputus dengan menggunakan konsep judicial activism.

Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).

Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.

Bagikan:

Responses