Perempuan Pengendara Panggung Pertunjukan

Penulis: Citra Hasan Nasution dan Rezky Chiki (Peretas)

Bagaimana seni pertunjukan bertahan di masa pandemi, menjadi pertanyaan pembuka. Pertanyaan ini menjadi kegelisahan bagi komunitas teater di banyak tempat. Sebaiknya berdamai dengan kondisi dan menampilkan berbagai siasat, lainnya memilih menahan diri sementara waktu sembari terus mengupayakan cara-cara yang paling memungkinkan. Luna Kharisma berada pada pilihan kedua, sebagaimana dikisahkan oleh Citra Hasan Nasution.

Alasan tak berada pada pilihan pertama bagi Luna adalah akan ada pengorbanan ideologi untuk memenuhi standar tertentu dari pihak pemberi program pertunjukan, sementara untuk menyelenggarakan sendiri, komunitasnya yang belum besar belum cukup mampu. Meski demikian, dramatic reading menjadi pilihan untuk tetap berada di atas pentas. Tidak seperti penampil lain dalam Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) yang menyerahkan rekaman pertunjukan, Luna memilih pembacaan naskah drama secara langsung (live streaming) dengan aplikasi Zoom Meeting. Bukan tanpa kendala, para aktor yang berada di tempat berbeda, tentu memiliki kendala jaringan yang berbeda-beda. Namun hal itu justru disiasati sebagai bagian dari pertunjukan.

Selain itu, Luna juga menyorot bagaimana pendanaan untuk pertunjukan dalam sistem demokrasi negara kita. Pendanaan oleh pemerintah maupun swasta sangat potensial membentuk kanonisasi karena hanya komunitas itu-itu saja yang dapat mengakses karena kerumitan syarat administratif. Untuk itu, Luna berupaya agar ada pembiayaan mandiri bagi anggota komunitas untuk menyelenggarakan hidup. Salah satunya dengan membentuk koperasi. Sayangnya, gagasan ini ditolak sebagian besar anggota komunitas. Tak patah arang, Luna membentuk kelompok yang lebih kecil, yang terdiri dari para perempuan.

Pada bagian lain tulisan ini, Rezky Chiki membagikan pandangannya terhadap pernikahan. Keputusan untuk menikah baginya ialah keputusan besar, mengingat banyaknya persoalan di dalamnya. Ia dibayang-bayang tradisi di kotanya yang memberatkan calon pengantin laki-laki, dan perempuan sebagai aset keluarga yang kelak bisa “dijual”. Ia menolak kuat tradisi tersebut. Akan tetapi, kehadiran cerita Citra Hasan Nasution sedikit mencairkan es dalam dirinya. Cerita Citra menjadi sedikit mengubah cara pandangannya bahwa kebekuan-kebekuan dalam rumah tangga bisa diatasi dengan dialog dan negosiasi. Pun demikian dengan urusan keluarga besar yang kadang turut campur dari awal pernikahan hingga kelak ketika berhasil berumah tangga.

Bagi Chiki, Citra menjadi bayangan demokrasi dalam berumah tangga, terlebih karena ia memiliki kolektif yang harus terus dihidupi. Citra dan suaminya bersama membangun komunitas dan mengelolanya. Awalnya, beban operasional komunitas dipanggul bersama delapan orang anggotanya, namun pandemi mengubah semuanya dan anggota lainnya mesti fokus pada pekerjaan dan keluarga. Tak jadi soal bagi Citra, dengan meminimalisir kegiatan untuk tampil di publik, setidaknya cukup untuk memberitahu kepada khalayak bahwa mereka masih berkegiatan. Menurut Chiki, apa yang dilakukan Citra adalah bentuk dari demokrasi dalam rumah tangga. Bukankah demokrasi sudah seharusnya diterapkan pada lingkung terkecil lebih dahulu, seperti keluarga?

Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).

Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.

Bagikan:

Responses