Pandemi dan Masa Depan Jurnalisme

Penulis: Fransisca Ria Susanti (PPMN)

Pandemi Covid-19 telah mengubah lanskap industri media. Bukan semata soal dampak krisis finansial yang ditimbulkan, tapi terlebih pada dampak krisis informasi yang menyertainya. Orang kembali mempertanyakan peran media dan mencari cara untuk menghentikan kekacauan yang ditimbulkan oleh disinformasi. Mungkinkah kita masih bisa mendapatkan solusi dari jurnalisme? Kita perlu memikirkan kembali secara serius peran dan fungsi jurnalisme karena perannya menyajikan informasi yang akurat dan terverifikasi.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan UNESCO memperingatkan bahaya disinformasi Covid-19. Penelitian Bruno Kessler Foundation, Reuters Institute, The CoronaVirusFacts Alliance, Facebook, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Infodemic Observatory membenarkan mewabahnya disinformasi.

Sementara, pandemi memperberat kerja perusahaan media yang tengah dihantam oleh disrupsi internet. Berbagai media mengalami penurunan pendapatan dan mesti merumahkan atau mem-PHK karyawan, memangkas gaji, dan berhenti terbit akibat dampak dari Covid-19 baik secara global maupun di Indonesia. Di lain sisi, serangan digital terhadap media dan jurnalis juga terjadi di tengah pandemi, diantaranya berupa doxing, pesan ancaman pembunuhan, pemadaman server, maupun penghapusan sejumlah berita di server media online.

Upaya penyelamatan jurnalisme adalah tanggung jawab semua pihak, termasuk pemerintah, perusahaan media sosial, kelompok filantropis, dan organisasi masyarakat sipil. Selain insentif keringanan pajak, pemerintah perlu menyediakan data terbuka bagi jurnalis dan publik serta mengatur dengan tegas perusahaan-perusahaan penyedia platform media sosial. Sementara, perusahaan media perlu menyelaraskan kode etik dan praktik mereka dengan standar internasional hak asasi manusia. Dari sisi kelompok filantropis dan lembaga donor, penggelontoran dana untuk penguatan kapasitas media dan jurnalis dapat mendorong lahirnya media dan individu-individu jurnalis yang lebih kompeten, produksi jurnalistik yang lebih berkualitas, dan lahirnya media nirlaba. Media nirlaba, seperti Propublica, AlgorithmWatch, dan Corrective, adalah salah satu bentuk penyelamatan jurnalisme. Di Indonesia, jurnalisme nirlaba masih lemah.

Hal lain yang bisa dilakukan untuk penyelamatan jurnalisme adalah kerja-kerja kolaborasi, baik kolaborasi  antarmedia, kolaborasi antara media arus utama dengan komunitas jurnalis warga, maupun kolaborasi media dengan organisasi masyarakat sipil untuk membuat liputan-liputan yang lebih berdampak bagi publik. Contohnya adalah kolaborasi jurnalis enam media menelusuri kejanggalan data rumah sakit Covid-19 di rumah sakit di Yogyakarta yang mendapat tanggapan positif publik dan ditindaklanjuti pemerintah.

Peningkatan kepercayaan publik kepada para jurnalis lewat liputan membuat jurnalisme masih memiliki harapan. Riset ICFJ menunjukkan, 43 persen jurnalis menyebut kepercayaan publik kepada mereka meningkat selama pandemi dan 38 persen mengatakan terjadi peningkatan partisipasi publik.  Sebanyak 61 persen jurnalis mengatakan komitmen mereka pada jurnalisme lebih menguat dibanding sebelum pandemi.  Selain itu, jurnalisme masih punya harapan dengan peningkatan literasi media. Semua pihak, baik media, pemerintah, sektor bisnis, maupun organisasi masyarakat sipil punya tanggung jawab untuk mendorong dan meningkatkan literasi media masyarakat.  Pada akhirnya, jurnalisme bisa bertahan jika masyarakat menaruh kepercayaan padanya.

Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).

Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.

Bagikan:

Responses