Mimpi-Mimpi Maulani Agustiah Rotinsulu: Etika Perawatan dan Inklusi dalam Feminisme

Penulis: Dewi Candraningrum (HWDI)

Filsafat klasik dan tradisional gagal menarasikan pengalaman disabilitas karena secara umum, disabilitas diasosiasikan dengan ketidaksempurnaan. Terlebih lagi pada perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas. Cara pandang inilah yang kemudian dijadikan negara sebagai dasar dalam mengelola akses, seperti penerimaan siswa di sekolah, yang tidak mengizinkan disabilitas mengakses pendidikan publik. Kehadirannya dipandang mengganggu merugikan anak-anak lain.

Akan tetapi perkembangan pemikiran selama setengah abad terakhir mulai membincangkan kemungkinan-kemungkinan lain dalam melihat ‘normalitas’ serta mengidentifikasi titik-titik pemikiran yang perlu dikritisi dengan komitmen pada inklusifitas. Dua pendekatan utama atas keadilan juga telah mengkritisi pengucilan yang dilakukan terhadap penyandang disabilitas. Pemikiran kritis ini dekat dengan etika perawatan dalam feminisme. Ini juga terkait dengan kerja perawatan yang lekat dengan pengalaman perempuan. Relasi antara perempuan dan pasangan, perempuan dan anak, perempuan dan orang tua, lebih kuat dengan nuansa perawatan, jika dibandingkan dengan lelaki. Kadang, perempuan dirugikan dengan peran ini, ketika peran tersebut tidak diberi kompensasi secara memadai dan layak oleh struktur sosial budaya dan negara.

Di atas situasi dominan tersebut, artikel ini mengajak kita untuk lebih dekat dengan perempuan dan para penyandang disabilitas. Kerentanan penyandang disabilitas selama pandemi COVID-19 semakin berlipat, di tengah persoalan isolasi sosial, mobilitas dan akses pada layanan kesehatan serta pendidikan, khususnya ketika komunikasi dialihkan melalui aplikasi dan metode online. Perempuan yang hidup dengan disabilitas lebih rentan mengalami kekerasan pada saat pemberlakuan jarak sosial, apalagi ketika terkurung di rumah bersama pelaku. Mengingat bahwa selama pemberlakuan jarak sosial dan penerapan aktivitas dari rumah, krisis maskulinitas meningkat dan menjadi salah satu penyebab KDRT.

Sebagai aktivis yang telah lama menggeluti perjuangan penyandang disabilitas, Maulani Rotinsulu tidak pernah lelah. Bersama empat belas perempuan lainnya, Maulani telah berjuang melalui HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia) untuk menggalang solidaritas dan memberdayakan para perempuan penyandang disabilitas di seluruh Indonesia untuk bersama memperjuangkan hak-hak dan perlindungan perempuan penyandang disabilitas. Sasaran perjuangannya meliputi perubahan regulasi dan pengambilan keputusan terkait dengan pelebaran akses pada para penyandang disabilitas. Politik bahasa difabel menjadi salah satu sasaran perubahannya.

Melalui HWDI, Maulani bisa lebih keras menyampaikan cita-citanya kepada para pemangku kepentingan tentang ketidakadilan pada perempuan disabilitas. Ia bahkan menolak disabilitas dihalus-haluskan. Justru, dengan kata yang lebih kasar, pemangku kepentingan akan tahu dan gelisah bahwa pekerjaan mereka untuk warganya masih belum selesai. Maulani tidak semata memperjuangkan eksistensi penyandang disabilitas. Perjalanan panjang perjuangannya didorong sebuah mimpi untuk mewujudkan keadilan manusia.

Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).

Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.

Bagikan:

Responses