Melihat Kembali Ekosistem Film Dokumenter setelah COVID-19

Penulis: Amelia Hapsari (InDocs)

Ekosistem film dokumenter Indonesia, seperti juga banyak negara-negara di Dunia Selatan, memiliki banyak keterbatasan. Namun, ada beberapa tantangan utama keberlanjutan dan pandemi COVID-19 bisa menjadi momentum untuk kemajuan film dokumenter Indonesia.

Tantangan yang pertama adalah ketiadaan pasar film dokumenter yang memunculkan permintaan. Meski televisi swasta mendominasi belanja iklan dan penontonnya bertambah di tengah pandemi, film dokumenter tidak mendapat porsi tayang. Sementara, TVRI sebagai lembaga publik tidak memiliki kekuatan pendanaan, manajemen, dan kuratorial untuk memproduksi atau mengakuisisi film-film dokumenter independen.  Padahal, TVRI bahkan mendapat bantuan pendanaan sebesar Rp 9,6 miliar rupiah pada masa pandemi untuk menayangkan acara-acara mendidik. Sementara, berbagai layanan Over The Top (OTT) tidak melakukan investasi bermakna untuk film dokumenter. Namun, para pembuat film dokumenter mencari celah. Youtube sekarang dimanfaatkan. Contohnya, film dokumenter Sexy Killers sukses meraup lebih dari 35 juta penonton di Youtube.

Tantangan yang kedua adalah ketiadaan pendanaan. Distribusi luas Youtube tidak menjamin pendanaan. Pemerintah Indonesia sejak pemerintahan Jokowi telah melakukan berbagai dukungan pada film dokumenter. Tetapi dukungan itu bukan merupakan suatu strategi integral yang dipikirkan dari hulu ke hilir.

Terobosan itu di antaranya dukungan pada forum pendanaan film dokumenter internasional di Indonesia, Docs By The Sea  yang bekerja sama dengan In-Docs. Docs By The Sea dalam mendukung dan menaikkan visibilitas film dokumenter Asia Tenggara telah diakui dunia dengan beredar ke lebih dari 100 festival film internasional,  memenangkan banyak penghargaan,  telah dipublikasikan secara global di lebih dari lima stasiun televisi dunia, dan telah menggaet lebih dari 40 kesempatan pendanaan dari seluruh dunia. Namun, ada kekurangan pendanaan di setiap film dokumenter tersebut, yang mendunia sekalipun.

Dukungan pendanaan terbukti meningkatkan kualitas film dokumenter. Lokakarya berjangka empat tahun Goethe Institut bersama Sebastian Winkels dan Lisabona Rahman dengan dukungan Ford Foundation menelurkan tiga film Indonesia yang berkualitas. Ketiga karya itu adalah  Negeri di Bawah Kabut (2010) karya Shalahuddin Siregar, Denok dan Gareng (2012) karya Dwi Sujati Nugraheni, dan Layu Sebelum Berkembang (2014) karya Ariani Djalal.

Dukungan pendanaan dari dalam negeri penting karena industri internasional memiliki kriteria dan cara pandang yang tidak dapat secara seragam diadopsi oleh semua film dari Indonesia. Pembuat film dokumenter tidak membuat filmnya untuk semata-mata tayang di festival atau jaringan televisi global. Di sinilah, dibutuhkan sinergi dan inovasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga swadaya masyarakat seperti In-Docs, dan pembuat film dokumenter.

Indonesia bisa mencontoh Korea Selatan. Negara melakukan investasi pada film dokumenter di berbagai tingkat. Hasilnya, film dokumenter pendek Korea In the Absence masuk nominasi film dokumenter terbaik Oscar 2019.

Tantangan ketiga adalah kualitas talenta Indonesia untuk film dokumenter. Pemerintah dan sektor swasta dapat berinvestasi untuk mengembangkan talenta dan potensi. Bila OTT ingin mendapatkan film yang baik, harus ada dana pengembangan cerita untuk para talenta muda sebagai berinvestasi.  Pemda Yogyakarta membuktikan bahwa investasi pada talenta muda menghasilkan film “Tilik” yang ditonton 25 juta penonton.

Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).

Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.

Bagikan:

Responses