APBN Dan Masa Depan Ekonomi Hijau Di Tengah Pandemi

Penulis: Akhmad Misbah Hasan (FITRA)

Bencana alam dan nonalam masih terus terjadi, hingga Covid-19 menembus Indonesia dan mengubah postur anggaran pemerintah. Pandemi ini pun menjadi tantangan terbesar bagi pemerintah dalam menjalankan agenda prioritas pembangunan nasional. Pemerintah dituntut fokus pada penanganan kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional (PEN) dalam jangka pendek.

Di sisi lain, komitmen ke-IV RPJMN 2019-2024 tidak boleh diabaikan, yaitu peningkatan kualitas lingkungan hidup, peningkatan ketahanan bencana dan iklim, serta pembangunan rendah karbon (PRK). Pada masa pandemi Covid-19, defisit APBN 2020 naik signifikan dari Rp307,2 triliun atau 1,76 persen terhadap PDB menjadi Rp852,9 triliun atau 5,07 persen terhadap PDB pada revisi pertama APBN 2020 melalui Perpres 54/2020 yang terbit bulan April 2020. APBN 2020 kemudian direvisi kembali melalui Perpres 72/2020.

Defisit APBN ditetapkan naik menjadi Rp1.039,2 triliun atau 6,34 persen terhadap PDB. Pada 2021, kondisi perekonomian Indonesia diproyeksikan sedikit lebih baik, dengan penemuan dan distribusi vaksin Covid-19 yang dapat digunakan secara aman oleh masyarakat. Namun demikian, pemerintah belum secara signifikan mengubah postur APBN 2021.

Pendapatan Negara ditetapkan sebesar Rp1.743,6 triliun dan Belanja Negara sebesar Rp2.750 triliun. Komposisi ini menyebabkan defisit anggaran pada APBN 2021 mencapai Rp1.006,4 triliun atau 5,7 persen terhadap PDB. Risiko lain yang juga perlu diwaspadai pemerintah adalah outstanding utang yang mayoritas berasal dari penjualan Surat Berharga Negara (SBN). Pemerintah telah memosisikan pembiayaan utang sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk mempercepat penanganan Covid-19 dan PEN.

Sementara itu, paradigma pembangunan yang diusung pemerintah masih mencerminkan pertumbuhan ekonomi an sich tanpa pertimbangan pada isu lingkungan yang berkelanjutan. Hal ini tentu sangat disayangkan karena sebagian besar negara-negara di dunia—terutama negara-negara maju, mulai belajar efek serius dari pandemi Covid-19 yang kemungkinan besar disebabkan oleh manusia yang melakukan eksploitasi terhadap bumi dengan melampaui batas. Deforestasi yang terjadi begitu masif menghilangkan keanekaragaman hayati.

Penggundulan hutan ini memperbesar peluang interaksi manusia dengan hewan liar sehingga memungkinkan virus seperti Covid-19 mudah cepat menular dan berkembang. Sementara itu, pengelolaan hutan berkelanjutan serta ketahanan bencana dan perubahan iklim hanya mendapat alokasi sebesar Rp4,08 triliun atau 24,44 persen. Program ketahanan bencana dan perubahan iklim sendiri hanya sebesar Rp200,9 miliar atau 1,2 persen dari total anggaran fungsi PLH. Akibat minimnya peran masyarakat, banyak kebijakan dan anggaran yang justru kontra produktif terhadap upaya pencegahan dan penanganan dampak Covid-19.

Melihat berbagai permasalahan tersebut, pemerintah perlu mengubah skema anggaran penanganan Covid-19 menjadi skema penanganan bencana yang lebih luas—bencana alam dan nonalam. Skema yang dirumuskan juga bukan model anggaran PEN yang lebih menitikberatkan pada pemulihan sektor ekonomi dibanding sektor kesehatan.

Oleh sebab itu, perlu diterapkan skema ekonomi hijau sehingga betul-betul menyelesaikan persoalan mendasar bidang kesehatan dan faktor-faktor perubahan iklim yang menyebabkan bencana ekologi. Bila perlu, anggaran fungsi perlindungan lingkungan hidup (PLH) ditetapkan sebagai mandatory spending sebagaimana anggaran fungsi pendidikan yang mewajibkan 20 persen dari total APBN dan APBD.

Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).

Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.

Bagikan:

Responses