Membincangkan Kedaulatan di Tengah Pandemi
Di tengah pandemi Covid-19, Masyarakat Adat membuat sejumlah langkah tersendiri untuk mencegah penularan virus sembari menjaga ketahanan pangan. Sejak Maret 2020, seluruh anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) melakukan karantina wilayah adat dan penguatan ketahanan pangan. AMAN beranggotakan 2.359 komunitas adat di seluruh Indonesia dengan jumlah individu mencapai sekitar 17 juta.
Selama pandemi, Masyarakat Adat menunjukan daya lentingnya untuk beradaptasi dalam bidang pangan, obat, dan kesehatan mengandalkan wilayah adat mengandalkan nilai-nilai warisan leluhur. Masyarakat Adat Urang Kanekes di Lebak, Banten, dan Banua Lemo, Desa Bonelemo, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan memberlakukan tindakan karantina atau menutup sementara akses keluar masuk desa/kampung untuk mencegah penularan Covid-19. Secara kolektif, Masyarakat Adat Banua Lemo membuka kebun jagung desa seluas 10 hektar dan menjemur sagu untuk memperkuat ketahanan pangan. Sementara, tetua Urang Kanekes meminta warga tidak bepergian sembari mengerahkan sumber daya untuk bekerja di ladang.
Dalam bidang pengobatan, Masyarakat Adat Banua Lemo mengerahkan para pemuda membuat bilik sterilisasi dan para perempuan adat membuat cairan disinfektan alami berbahan daun sirih dan jeruk nipis. Cara ini adalah ilmu yang diajarkan oleh leluhur secara turun-temurun lalu dimodifikasi oleh Masyarakat Adat Banua Lemo.
Selama pandemi, peran perempuan dan pemuda adat begitu sentral dalam menghadang masuknya virus dan memperkuat ketahanan pangan. Pemuda Adat Anak Talang di Indragiri Hulu misalnya melakukan kegiatan gotong-royong menanam pisang di atas wilayah adat mereka untuk memperkuat ketahanan pangan dan memastikan pendapatan. Sementara, perempuan adat berkontribusi memperkuat pondasi dan ketahanan gerakan Masyarakat Adat menghadapi Covid-19. Aspek pengetahuan menjadi peran penting bagi perempuan adat untuk merawat tradisi leluhurnya. Pandemi justru memberikan stimulus bagi perempuan adat untuk bersama-sama merevitalisasi kembali kemampuan dan pengetahuan tradisional.
Namun, pemuda dan perempuan adat saat ini dituntut untuk berperan ganda. Ketika mereka harus memproteksi kampung di tengah pandemi, mereka menghadapi ancaman kriminalisasi, perampasan wilayah adat, dan diskriminasi serta kekerasan. AMAN mencatat sepanjang tahun 2020 terdapat 40 (empat puluh) kasus kriminalisasi dan kekerasan terhadap Masyarakat Adat.
Cara Masyarakat Adat menghadapi Covid-19 membuktikan bahwa otonomi atau kedaulatan dalam pengambilan keputusan dibarengi dengan akses ke wilayah adat dan sumber daya alam sangat penting sebagai penopang kehidupan di tengah pandemi. Selain itu, Masyarakat Adat masih setia menjalankan nilai-nilai dan praktik leluhur. Keduanya merupakan kekuatan tersendiri untuk bertahan di tengah krisis yang sedang berlangsung. Namun, konflik agraria menjadi ancaman bagi Masyarakat Adat.
Keberhasilan itu juga membuka mata untuk mengubah paradigma ekonomi Indonesia dari kapitalisme menjadi tatanan ekonomi kerakyatan. Pandemi menunjukan, gerakan Masyarakat Adat perlu untuk melampaui proses pendakuan dan tuntutan yang bersifat simbolik dan relatif etis pada langkah-langkah operasional dari pendakuan dan tuntutan itu. Dengan begitu, gerakan Masyarakat Adat tidak lagi hanya berpusat pada “pekerjaan bongkar”, tetapi juga sadar pada keharusan untuk melakukan “pekerjaan pasang”.
Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).
Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.
Responses