Dinamika Politik Hukum Perhutanan Sosial, Dinamika Perebutan Ruang
Penulis: Azis, Cici dan Mita (WARSI)
Pengelolaan Perhutanan Sosial merupakan sistem pengelolaan hutan lestari dalam kawasan hutan negara atau hutan hak/hutan adat. Masyarakat desa hutan atau masyarakat adat mengelola hutan dengan metode pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan, keseimbangan lingkungan, dinamika sosial budaya, dan mengurangi ketimpangan. Di atas kertas, Perhutanan Sosial semestinya memperlambat laju deforestasi.
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.83/MENLH/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial memberikan akses lebih luas pada Perhutanan Sosial. Di Provinsi Jambi sendiri, hingga April 2020, tercatat luasan realisasi Perhutanan Sosial Provinsi Jambi telah mencapai 60 persen atau 200.511,73 Ha dari total dari total alokasi seluas 340.893 ha.
Di lain sisi, perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) tengah mengalami peningkatan permintaan kayu namun kesulitan lahan akibat moratorium izin baru. Pengamatan Komunitas Konservasi Indonesia WARSI menemukan perusahaan HTI tetap memperluas area dengan menggandeng masyarakat pemegang izin salah satu skema Perhutanan Sosial Hutan Tanaman Rakyat (HTR) untuk bekerjasama sebagaimana diperbolehkan dalam Permen LHK No. 83/2016. Bahkan, perusahaan mendampingi masyarakat untuk mengusulkan Perhutanan Sosial.
KKI WARSI memantau di Provinsi Jambi ada empat izin IUPHHK-HTR di Kabupaten Batanghari bermitra dengan perusahaan HTI PT Wira Karya Sakti (PT.WKS), anak perusahaan Sinarmas Group dengan total 2.477,32 Ha. Di antaranya yakni HTR Koperasi Hijau Tumbuh Lestari, HTR Koperasi Pajar Hutan Kehidupan, HTR Koperasi Alam Tumbuh Hijau, dan HTR Koperasi Rimbo Karimah Permai. Umumnya pengelola IUPHHK-HTR berperan sebagai pemasok kayu dan wilayah penanaman.
Di Kabupaten Tebo, sejak tahun 2018 PT WKS bermitra dengan Koperasi Teriti Jaya, pemegang IUPHHK-HTR seluas 2.516,00 Ha. Pemanfaatan hutan sepenuhnya oleh PT WKS. Bahkan, PT WKS mendampingi dan memfasilitasi izin IUPHHK-HTR. PT WKS juga tengah melobi tiga izin IUPHHK-HTR di wilayah Kabupaten Tebo dengan total luas 11.917
Proses awal kemitraan HTI-HTR berbeda-beda. Di Batanghari, kemitraan dianggap jalan keluar bagi konflik lahan antara PT WKS dengan warga. Sementara, di tingkat tapak, setidaknya terdapat lima hal mendorong kemitraan. Pertama; keuntungan dari sisi akses modal dan manajemen. Kedua; keterbatasan pendamping untuk memfasilitasi sarana dan prasarana serta asistensi. Ketiga; pemenuhan kewajiban administratif keahlian tertentu. Keempat; ketimpangan pengetahuan dan kemampuan para pemegang izin HTR yang terbatas. Kelima; penerapan skema Perhutanan Sosial yang salah sasaran. Dari segi ekonomi, pemanfaatan hasil bukan kayu lebih pasti dan menjanjikan dibandingkan memanfaatkan kayu.
Peluang perusahaan HTI menggunakan celah hukum Perhutanan Sosial semakin kuat dengan perubahan paradigma dalam Permen LHK No.11/2020 yang semakin memeluk paradigma ekonomi bisnis. Peraturan baru itu menghapus batasan dan syarat kemitraan dengan perusahaan HTI sembari memperpanjang izin HTR menjadi 60 tahun (dan dapat diperpanjang 35 tahun). Manajemen tata kelola HTR juga sudah berpindah kewenangan pada Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Maka, bisa jadi kelak usulan izin baru Perhutanan Sosial akan didominasi skema HTR di area Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) kawasan hutan produksi yang masih produktif. Skema HTR tersebut tentu rentan bermitra dengan perusahaan HTI dan mempercepat deforestasi. Ke depannya, tiap PIAPS untuk usulan baru HTR harus benar-benar memperhatikan kondisi nyata di wilayah/lapangan.
Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).
Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.
Responses