Beradaptasi dengan Pandemi, Cerita Tiga Negeri
Penulis: Arif Nurdiansya dan Gladi Hardiyanto (Kemitraan)
Kebijakan pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) membuat seluruh kegiatan berantakan dan harus kembali mengatur siasat. Tak hanya di kota-kota, local lockdown telah menjalar hingga ke desa-desa terpencil. Covid-19 yang digambarkan begitu mengerikan dan dapat menghilangkan nyawa dalam waktu singkat, membuat masyarakat khawatir dan takut. Kondisi ini dapat mencerminkan situasi di level nasional. Dalam tulisan ini, disajikan bagaimana Kemitraan bersiasat di tengah pandemi agar dapat tetap melaksanakan program-programnya di daerah dampingannya dengan mengambil sepenggal kisah-kisah pendampingan di tiga daerah, yaitu Mataram, Nusa Tenggara Barat; Sikka, Nusa Tenggara Timur; dan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Dalam kondisi pandemi, ketiga daerah dampingan ini cukup memprihatinkan.
Namun dengan siasat dan kegigihan, masing-masing dapat bangkit dari keterpurukan. Persoalan utama adalah moda transportasi yang tak beroperasi. Dalam beberapa waktu di masa awal pandemi, transportasi terhenti total sehingga distribusi produk lokal tidak lancar. Hal ini membuat produksi terhenti dan berbagai kekhawatiran muncul. Tidak hanya kekhawatiran terkait ekonomi, tetapi juga moral dan sosial.
Dalam kondisi ini, kelompok dampingan Kemitraan mengubah strategi dan haluan. Yang mula-mula didistribusikan dalam partai besar, di masa pandemi dijual eceran. Yang semula memproduksi gula semut, diubah menjadi gula batok. Sebagian lagi mengubah produksi menjadi jasa pariwisata dengan memanfaatkan alam sebagai objek wisata. Di tengah persoalan ini proses demokrasi lokal memberikan dampak perubahan pada kelompok dampingan Kemitraan. Melihat warganya yang giat bekerja, seorang lurah baru bersedia membantu kelompok dampingan yang semula dianggap memihak petahana yang kalahkannya.
Begitu pula ketika pemilihan bupati, semua calon membantu kelompok dampingan dengan caranya masing-masing sembari meninggalkan janji jika kelak terpilih. Selain bencana nonalam, bencana alam yang terjadi di Lombok juga memberikan dampak buruk dari kelompok dampingan. Atas berbagai persoalan itu, terdapat tonggak penyangga atas kemampuan bertahan hidup kelompok dampingan Kemitraan. Tonggak itulah ialah 1) ketua kelompok yang gigih mencari jalan keluar dan tanpa henti-henti memotivasi anggota kelompoknya untuk tetap kreatif, 2) sikap gotong royong dan saling berbagi antaranggota kelompok, 3) hutan sebagai sumber penghidupan sekaligus pelindung bagi mereka. Saat pembatasan dilaksanakan, warga desa melakukan isolasi dengan caranya sendiri. Sebagian mengisolasi diri di hutan dan tetap dapat mengolah lahan.
Di hutan, mereka merasa aman, tidak akan terkena Covid-19 karena akses masuk sudah ditutup, dan mereka percaya hutan dapat melindungi mereka. Hutan menjadi modal bagi warga desa untuk bertahan dari bencana hingga pandemi. Olehnya, mereka akan dengan sekuat tenaga menjaga kondisi hutannya. Bagi mereka, hutan adalah kehidupan. Atas situasi dunia saat ini, Ammatoa Kajang memberikan nasihat, yaitu jaga mata, jaga mulut, menjaga tangan, dan menjaga kaki. Keempatnya mampu mengantarkan manusia kepada kebaikan sekaligus kerusakan.
Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).
Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.
Responses