Advokasi Kebijakan Seni dalam 13 Inci
Penulis: Oming Putri (Koalisi Seni Indonesia)
Pengelolaan jaringan adalah kunci untuk gerak advokasi yang berkelanjutan. Ini tidak mudah karena advokasi kebijakan seni kurang dikenal geraknya jika dibanding advokasi isu lain. Upaya mendorong kebijakan publik yang berpihak pada kemajuan ekosistem seni sangat membutuhkan keterlibatan dan kolaborasi banyak pihak dari berbagai bidang. Sejak 2020, Koalisi Seni punya satu divisi khusus yang bertugas mengelola jaringan termasuk Anggota.
Hingga Januari 2021, Koalisi Seni beranggotakan 275 individu dan lembaga dari 21 provinsi di Indonesia. Di antara mereka, selain seniman, juga ada pengelola pengetahuan, wikipediawan, fasilitator, antropolog, wartawan, dan astrofisikawan. Sejak berdiri pada tahun 2012, kami juga telah berkolaborasi dengan beragam lembaga, antara lain Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Centre for Strategic and International Studies (CSIS), dan UNESCO.
Acara-acara publik yang diselenggarakan calon mitra strategis adalah salah satu cara memperluas jaringan. Momen sehabis acara selesai adalah momen favorit kami untuk mulai mendekati calon mitra dan berbincang akrab tentang isu ekosistem seni. Strategi ini pernah membuahkan kerjasama dengan musisi Glen Fredly, Konferensi Musik Indonesia (KAMI) 2018, dan advokasi RUU Permusikan. Jika tidak acara publik, KSI mengundang para calon mitra untuk datang ke kantor.
Saat mulai terbiasa dengan strategi berjejaring di atas, pandemi memepatkannya pada gawai berukuran 13 inci melalui aplikasi telekonferensi terutam Zoom dan terkadang Google Meet. Tetapi, pertemuan daring kurang mengakomodir pertemuan yang membutuhkan durasi panjang dan tidak ada ruang informl setelah acara selesai.
Sebagai gantinya, pertemuan daring kembali mendekatkan Anggota yang lama tidak berkomuniksi dan pertemuan lebih pada konsolidasi gerak bersama. Selama pandemi, Anggota Koalisi Seni sejak pertengahan 2020 makit mengkonsolidasikan isu advokasi perspektif gender dalam kebijakan seni. Pada Januari 2021, Koalisi Seni berhasil merumuskan strategi advokasi; membentuk kelompok kerja; mengidentifikasi fakta, isu, dan jaringan potensial; serta melengkapi data-data pendukung.
Selain itu, pertemuan daring melahirkan perkumpulan-perkumpulan baru. Di bidang teater, Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (Penastri) yang diinisiasi oleh Anggota Koalisi Seni bidang teater terbentuk berdasarkan pertemuan daring. Platform daring memungkinkan puluhan pertemuan dilakukan untuk membicarakan visi dan misi perkumpulan selama dua bulan pembentukan. Platform daring juga memungkinkan Tim Perumus yang lintas wilayah, bahkan negara. Susunan pengurus Penastri untuk periode pertama pun mempertimbangkan keberagaman wilayah berkat adanya pertemuan daring.
Selain mereka, platform daring juga membantu Anggota Koalisi Seni juga berserikat dalam bentuk kolektif atau perkumpulan di masa pandemi, menganyam gagasan, dan menuangkannya dalam kerja nyata secara lintas daerah. Perkumpulan yang terbentuk selama pandemi antara lain Sahabat Seni Nusantara, Asosiasi Seniman Riau (ASERI), dan Kolektif Ruang Seni Anti Loyo (KRUSIAL). Masing-masing mengisi ruang advokasi masing-masing.
Beragam praktik baik yang terjadi selama pandemi menunjukkan daya lenting pegiat seni semasa krisis. Ketika 234 acara seni dibatalkan atau ditunda akibat Covid-19, mereka pun memanfaatkannya untuk mengonsolidasikan diri.
Judul Buku: DEMOKRASI DAN PANDEMI
Bunga Rampai Pengetahuan Masyarakat Sipil di Indonesia
Diterbitkan oleh: Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara
ISBN 978-623-98039-0-2
© 2021. Dipublikasikan di bawah lisensi Creative Commons Atribusi-NonKomersial-BerbagiSerupa 4.0 Internasional (CC-BY-NC-SA 4.0).
Buku ini terbit atas inisiatif dan kerja sama yang telah dilakukan beberapa organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam CIVICA.
Responses