Hotline Kesehatan Mental untuk Resiliensi Pasien Tuberkulosis
Depok, 10 Oktober 2022 – Global Tuberculosis Report (GTR) 2021 mencatat bahwa Indonesia, menjadi negara ketiga dengan kasus tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia.
Dalam sebuah penelitian bertajuk, Patient journey TBC di Indonesia, yang dilakukan oleh Ipsos (sebuah perusahaan riset pasar dan konsultasi multinasional yang berkantor pusat di Paris, Prancis). Dari hasil penelitiannya, menyebutkan bahwa terdapat tujuh tahap, yang dilalui pasien TBC dalam masa pengobatan dan tantangan yang menyertainya.
Untuk dapat mengakomodir tantangan pengobatan, Konsorsium Komunitas Penabulu -STPI, dan Perhimpunan Organisasi Pasien TBC (POP TB) mengembangkan sistem pendampingan yang Komprehensif.
Hal ini dilakukan dengan menyediakan Hotline Kesehatan Mental untuk pasien TBC serta website umpan balik layanan TBC.
Dalam momentum Hari Kesehatan Mental Sedunia 2022 diusung tema “Making Mental Health & Well-Being for All a Global Priority”. Tema ini menjadi peluang untuk semua pihak agar memprioritaskan isu kesehatan mental pada seluruh lini dan aspek kesehatan.
Merespon momentum, Konsorsium Komunitas dan POP TB melakukan kegiatan talkshow di Rumah Sakit Universitas Indonesia pada tanggal 10 Oktober 2022. Dengan tema, Gerakan 10/10, Paripurna Dukung Pasien TBC: Peluncuran Hotline Kesehatan Mental dan Umpan Balik Pasien TBC.
Dalam kegiatan talkshow tersebut, Budi Hermawan, Ketua POP TB Indonesia mengungkapkan bahwa terdapat tiga tantangan utama, yang dihadapi pasien TBC, yitu efek samping obat, kondisi sosial ekonomi, stigma dan diskriminasi.
“Tantangan yang dihadapi oleh pasien TBC tersebut membuatnya lebih rentan mengalami gangguan mental seperti kecemasan, suasana hati yang buruk, merasa rendah diri dan depresi”, ungkapnya.
Dalam konteks pengobatan TBC, DR. dr. Erlina Burhan, MSc, Sp.P(K), Ketua Koalisi Organisasi Profesi untuk Penanggulangan TB (KOPI TB) juga menuturkan hal serupa.
“Pasien TBC menjalani proses pengobatan yang lama dan seringkali mendapatkan efek samping obat. Belum lagi jika pasien mendapatkan stigma. Hal tersebut menyebabkan stress, gangguan cemas dan depresi.” Ujarnya.
Lebih lanjut, dr. Herbet Sidabutar, Sp.KJ, Ketua Tim Kerja Tata Kelola Gangguan Jiwa Kementerian Kesehatan menerangkan bahwa tingginya stressor yang dialami oleh pasien TBC menjadi masalah Kesehatan hingga gangguan jiwa.
Oleh karena itu, untuk dapat sembuh yang optimal, pasien TBC memerlukan pengobatan komprehensif mulai dari fisik, mental, sosial dan spiritual.
“Terdapat 4 upaya utama yakni (1) deteksi dini di puskesmas ketika diagnosa ditegakkan; (2) konseling bagi pasien dan pengawas menelan obat (PMO) untuk mencegah kemungkinan depresi; (3) pengobatan depresi secara cukup dosis dan waktu serta (4) optimalisasi fungsi sosial dan spiritual“, terang dr. Herbet.
RS UI sebagai salah satu RS Programmatic Management of Drug-Resistant Tuberculosis (PMDT) telah melakukan upaya pelayanan kesehatan yang komprehensif bagi pasien TBC.
DR. dr. Diah Handayani, SpP (K), Ketua Tim Program TB RS UI menyampaikan jejaring dalam pelayanan TBC.
“Dalam jejaring layanan internal, pasien akan mendapatkan pemeriksaan secara lengkap untuk layanan TBC dan layanan kesehatan jiwa melalui psikiater. Tidak hanya itu, RSUI juga bekerjasama
dengan komunitas, yakni Organisasi Penyitas TBC – Terjang untuk dapat mendukung pasien TBC”.
RS UI juga mengedepankan profiling sebagai TB Care Plus Pelayanan TBC, sebagaimana disampaikan oleh DR. dr. Astuti Giantini Sp. PK (K), MPH, Direktur Utama RS UI.
“UI menyediakan layanan rawat jalan, layanan rujukan lab TCM, skrining TB tenaga kesehatan, penelitian TB, pendidikan mahasiswa Rumpun Ilmu Kesehatan UI dan edukasi masyarakat.”
Sejalan dengan hal tersebut, POP TB sebagai OPT mengembangkan penyediaan Hotline Kesehatan Mental yang diharapkan dapat mendukung pasien TBC dalam mengatasi ambivalensi dalam memulai dan menyelesaikan pengobatan serta menghubungkan ke layanan psikologis rujukan.
Dalam hal ini, POP TB menjalin kemitraan bersama Himpunan Psikolog Indonesia (HIMPSI).
Berkenaan dengan stigma pada pasien TBC, Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI bersama dengan Sinergantara meneliti tentang TB Stigma dengan melibatkan 1280 pasien TBC.
Aris Subakti, MEL Manager Konsorsium Komunitas PB-STPI menyampaikan bahwa terdapat 194 atau 15% pasien TBC mengalami stigma. Hal tersebut terjadi di lingkungan masyarakat/tetangga, layanan Kesehatan, tempat kerja dan di rumah.
Menyadari akan pentingnya peran komunitas dalam proses pendampingan pasien TBC, maka Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI dan POP TB juga mengembangkan Community Based Monitoring Feedback (CBMF) berbasis website pada laman laportbc.id. Platform tersebut digunakan sebagai umpan balik dari komunitas untuk masukan dan perbaikan layanan.
Laporan yang membutuhkan pendampingan hukum akan ditindaklanjuti dengan adanya dampingan dari paralegal terlatih dan melalui kolaborasi POPTB dengan LBH Masyarakat.
Tersedianya Hotline Kesehatan Mental dan website laportbc.id menjadi strategi yang komprehensif dalam upaya yang paripurna dalam mendukung kesembuhan pasien TBC.
Kedua komponen tersebut telah resmi diaktivasi/diluncurkan pada kegiatan Talkshow yang bertepatan dengan momentum hari Kesehatan mental sedunia, 10 Oktober 2022.
Hadir dalam kegiatan peluncuran tersebut, Dr. Adang Bachtiar, MPH, DSc, Ketua TWG TB menyatakan dukungannya. Hal ini merupakan kontribusi nyata Komunitas Tuberkulosis dalam memberikan dukungan psikologis kepada pasien TB. “Adanya dukungan psikologis yang mendukung Kesehatan mental pasien TB tentu merupakan faktor yang dapat mendorong kepatuhan pasien dalam berobat sehingga pasien dapat diobati sampai sembuh” ungkapnya.
Dalam konteks program penanggulangan TBC Nasional, dr. Imran Pambudi, MPHM, Direktur Pencegahan & Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan menyampaikan bahwa kegiatan ini salah satu bentuk tindak lanjut untuk meningkatan peran serta sektor kemitraan.
“Hotline Kesehatan Mental dan CBMF merupakan strategi yang komprehensif dalam upaya yang paripurna dalam mendukung kesembuhan pasien TBC. Dengan kedua platform tersebut diharapkan menjadi dorongan gagasan dan implementasi upaya inovatif untuk mencapai target nasional”
Ketua Tim Kerja Tata Kelola Gangguan Jiwa Kementerian Kesehatan mengungkapkan bahwa Hotline Kesehatan Mental untuk pasien TBC diperlukan untuk mencegah atau menangani kegawatdaruratan psikiatri melalui intervensi dukungan psikologis awal dan kerjasama tim Kesehatan Jiwa.
Lebih lanjut, Ketua KOPI TB juga menyampaikan dukungan dan merekomendasikan untuk berkolaborasi bersama jaringan rumah sakit dengan layanan TBC.
Tenaga kesehatan dapat berperan secara kolaboratif dengan melibatkan psikolog dan psikiater, aktif dalam menjangkau pasien TBC, memberikan layanan yang integratif termasuk layanan kesehatan jiwa serta melakukan edukasi.
Lebih luas lagi, Ketua TWG TB menyampaikan bahwasanya definisi kesehatan jiwa memiliki konsekuensi lanjut terhadap intervensi yang perlu diupayakan untuk pasien TBC. “Mulai dari proses penjangkauan dan penemuan kasus, perlu adanya edukasi untuk deteksi awal kebutuhan kesehatan mental.
Selanjutnya perlu proses untuk adanya upaya skrining dan melekat pada mental health support and treatment. Proses ini juga diharapkan dikuatkan dengan self-management skills dengan tujuan mencapai resiliensi keluarga” ujarnya.
Senada dengan dr Herbet yang menyatakan bahwa penting untuk upayakan resiliensi diri dimana individu mampu beradaptasi dengan baik terhadap keadaan yang menekan sehingga mampu untuk pulih dan berfungsi optmal serta mampu melalui kesulitan.
DR. dr. Erlina Burhan, MSc, Sp.P(K) dalam closing remarks menegaskan untuk semua pihak mengambil peran, ”ACTION NOW! Jika tetap bertahan businessas usual maka kita tidak akan bisa mencapai target eliminsi TB pada 2030. Kolaborasi ini penting untuk bersama semua stakeholder. Layanan TBC juga butuh psikolog, psikiater agar sehat jiwa”, pungkasnya.
Dalam hal ini, Konsorsium Komunitas mengusulkan 6 rekomendasi kepada seluruh pihak mendukung gerakan 10/10 Paripurna TBC, sebagai inisiatif dari pasien – penyintas dan pekerja komunitas TBC:
(1) Meningkatkan frekuensi kampanye “TBC dapat disembuhkan” secara luas, agar dapat membuka sekat stigma dan diskriminasi, sehingga terjadi kepercayaan diri individu serta dukungan dari keluarga, teman, atasan, pendidik dan seluruh masyarakat;
(2) Melaksanakan kampanye kesehatan mental kepada pasien, keluarga, penyintas dan masyarakat umum, tidak hanya terbatas yang berkaitan dengan penyakit TBC;
(3) Mendorong dilaksanakannya konseling psikologi pada pasien ternotifikasi TBC sebagai bagian dari layanan jejaring internal dan eksternal di fasilitas kesehatan, melalui pelatihan dukungan psikososial kepada tenaga kesehatan disertai pemantauan dan sistem rujukan yang memadai;
(4) Menguatkan “Layanan TBC Kolaboratif” terkait kesehatan mental bersama pemerintah, masyarakat sipil, pelaku usaha, organisasi profesi, perguruan tinggi, layanan kesehatan dan media;
(5) Melaksanakan riset dan pengembangan OAT dengan efek samping seminim mungkin sehingga mengurangi dampak pada kesehatan mental pasien dan penyintas TBC.
(6) Memberikan proteksi sosial kepada pasien dan penyintas TBC, seperti asuransi untuk semua tindakan/ pengobatan yang dibutuhkan pasien TBC, proyek income generating dan Bantuan Langsung Tunai untuk mencegah pasien TBC kehilangan pekerjaan dan semakin tidak berdaya secara ekonomi sehingga dapat meningkatkan kecemasan dan depresi pada pasien dan penyintas TBC.
Responses