Perlindungan Hukum Terhadap Orang Yang Terdampak TB (Pasien)
Berbicara mengenai perlindungan hukum tentu sangat erat kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Perlindungan hukum adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban, perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti melalui pemberian restitusi, kompensasi, pelayanan medis, dan bantuan hukum. Perlindungan hukum hakikatnya setiap orang berhak mendapatkan perlindungan hukum termasuk orang yang terdampak Tuberkulosis (TB) baik itu pasien, keluarga pasien dan petugas kesehatan. Hak atas perlindungan hukum bagi orang yang terdampak TB merupakan hal yang sangat penting, karena dengan adanya jaminan perlindungan hukum bagi orang yang terdampak TB akan membuat orang yang terdampak TB mendapatkan haknya dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai secara kemanusiaan dan tanpa adanya diskriminasi.
Diskriminasi itu terjadi saat pengobatan TB RO yang dijalani oleh pasien. Salah satunya yaitu diskriminasi dalam bentuk pemutusan hubungan kerja (PHK) saat menjalani pengobatan. Sebagai contoh kasus seperti kasus pertama, Bapak P, berusia 45 tahun yang di-PHK dari pekerjaannya sebagai satpam pada saat pengobatan TB RO yang baru dijalani selama 4 bulan. Pemecatan dilakukan oleh tempat dia bekerja dikarenakan pengobatan TB RO memakan waktu yang lama yaitu 9-11 bulan. Selain itu, Bapak P juga mengalami efek samping pengobatan (tuli) yang tidak memungkinkan dia kembali bekerja. Sehingga dampak dari hal tersebut diatas adalah terganggunya perekonomian yang berimbas pada kesejahteraan keluarganya.
Kasus kedua, Bapak S berusia 38 tahun yang juga mendapat perlakuan yang sama dari tempatnya bekerja sebagai guru. Tragisnya lagi, Bapak S mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan berupa pemecatan pada saat hasil diagnosa Rumah Sakit baru keluar. Alasan yang didapat Bapak S takutnya menularkan TB RO ini ke murid-murid di tempat dia mengajar. Kasus diatas dapat diartikan sebagai bentuk diskriminasi dalam pekerjaan yang dialami oleh yang sedang menjalani pengobatan TB yang berimbas setelah pengobatan selesai. Padahal, orang yang terdampak TB RO ini mempunyai hak-hak yang diatur dalam peraturan-peraturan. Dilihat berdasarkan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 Pasal 28 H, hak non-diskriminasi yang merupakan prinsip dari hak kesehatan itu sendiri. Hak non-diskriminasi yang dimaksud adalah kesetaraan gender, kesetaraan akses untuk bekerja, hak anak untuk mendapatkan identitas, pendidikan, bebas dari kekerasan, eksploitasi, kejatahan seksual yang berdampak pada kesehatan. Kesehatan merupakan HAM, dimana antara HAM dan kesehatan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi, karena seringkali akibat dari pelanggaran HAM adalah gangguan terhadap kesehatan demikian pula sebaliknya, pelanggaran terhadap hak atas kesehatan juga merupakan pelanggaran terhadap HAM.
Diskriminasi dalam pekerjaan dalam Deklarasi Universal HAM Tahun 1948 juga mengatakan hal ini merupakan pelanggaran terhadap HAM, dimana selama pengobatan TB, orang yang terdampak TB mengalami kecacatan akibat efek samping dalam pengobatan TB sehingga kehilangan pekerjaaan dan mengganggu kesejahteraan yang mana seharusnya sesuai dengan isi dari Pasal 25 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia bahwa orang yang terdampak TB tersebut juga memiliki hak seperti pada pasal tersebut. Jika tidak tercipta sesuai deklarasi tersebut, maka ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap HAM.
Tidak terpenuhinya hak orang terdampak TB atas diskriminasi juga sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 khususnya pasal 40, 41 dan 42 dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Diskriminasi pada dasarnya adalah penolakan atas hak-hak dasar dan kebebasan dasar yang selanjutnya disebut sebagai HAM yang melekat pada manusia secara kodrati sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa dan tidak dapat diingkari. Sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM disebutkan pengertian diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif.
Pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Oleh karenanya setiap ada pelanggaran HAM, maka negara dalam hal ini pemerintah, yang harus bertanggungjawab karena mereka mempunyai kewajiban dengan memberikan fasilitas pengaduan kepada siapa saja untuk bisa mengadu apabila melihat adanya pelanggaran HAM masyarakat pada umumunya dan orang yang terdampak TB khususnya. Pelanggaran HAM dalam Program TB juga termuat dalam Piagam The Patients’ Charter for Tuberculosis Care Tahun 2006. Dalam Piagam ini jelas menegaskan non-diskriminasi terhadap orang terdampak TB khususnya pasien. Dikaitkan dengan kasus yang ada, orang yang terdampak TB mengalami diskriminasi dari masa pengobatan, sehingga pelanggaran terjadi yaitu pada poin “Keamanan” dimana dalam The Patients’ Charter for Tuberculosis Care yaitu “hak untuk dijamin tetap bekerja (tidak di PHK) dan tidak dikucilkan”. Pelanggaran hak ini adalah bentuk diskriminasi dalam pekerjaan.
Secara global, karena program TB ini adalah Program dunia, hak orang TB diatur dalam Deklarasi Orang Terdampak TB. Berdasarkan kasus yang diuraikan diatas, tulisan ini memfokuskan kepada hak atas Perlakuan Non-diskriminasi, dimana sesuai dengan pasal 6 dalam Deklarasi ini dimana Pasal ini menegaskan bahwa hak setiap orang yang terdampak TB untuk bebas dari segala bentuk diskriminasi di semua bidang dalam kehidupan mereka salah satunya non-diskriminasi pada pekerjaan karena pada pasal 14 Deklarasi ini menyebutkan bahwa setiap orang yang terdampak TB memiliki hak untuk bekerja. Hak ini ditegaskan dengan menyebutkan bahwa setiap orang yang terdampak TB memiliki hak untuk akomodasi di tempat kerja, termasuk ketidakhadiran dan istirahat, untuk memungkinkan mereka mempertahankan pekerjaan mereka pada status yang sama setelah mereka di diagnosa. Jika orang dengan TB tidak mungkin mempertahankan pekerjaannya, karena pembatasan yang diberlakukan oleh undang-undang atau ketentuan kontrak kerja mereka, mereka memiliki hak untuk jaminan sosial termasuk hak untuk mengakses dan mempertahankan tunjangan, baik dalam bentuk tunai atau barang dan memiliki hak kompensasi berkelanjutan untuk biaya medis dan biaya lain yang terkait dengan penyakit akibat kerja mereka sesuai dengan Pasal 18 dari Deklarasi ini.
Pengaturan hak orang yang terdampak TB dari segi pelayanan kesehatan melalui pengobatan (hak kesehatan) memang sudah ada dan sudah terlaksana sesuai kebijakan, namun dari segi kesejahteraan sosial terhadap dampak pengobatan yang telah dijalani seperti kasus Bapak P, belum ada kebijakan pemerintah yang mendukung hak orang yang terdampak TB ini. Untuk itu, perlu adanya payung hukum untuk pemberian bantuan sosial untuk pasien TB dengan kebijakan-kebijakan perlindungan sosial lainnya. Karena, masih adanya diskriminasi yang terjadi pada orang yang terdampak TB khususnya pasien ini, adalah merupakan faktor penting yang membuat penyakit TB sulit dihapuskan dari masyarakat.
Responses