Dana Abadi LSM: Negara Harus Hadir Dalam Memperkuat Demokrasi dan Pemberdayaan Warga
Kiprah LSM di Indonesia telah dikenal dalam berbagai dekade penting perjalanan bangsa Indonesia. Berbagai gagasan pembangunan partisipatoris disumbangkan hingga diadopsi dalam beragam kebijakan pemerintah. Pada berbagai kesempatan, peranan paling berharga dari LSM adalah Reformasi 1998, dimana membuka proses demokrasi sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga dalam arena publik.
Namun demikian, lebih dua dekade sejak Reformasi 1998 dimana Indonesia telah menjalankan Demokrasi, dukungan kepada LSM masih dapat dikatakan minim. Sejauh ini yang ada adalah Dana Bantuan Hukum yang terbatas bagi lembaga bantuan hukum dengan dana maksimal pertahun 50 juta rupiah (sesuai UU Bantuan Hukum), dan Swakelola Tipe 3 yang bergantung pada niat baik dari pemerintah pusat maupun daerah. Dukungan minimal ini secara struktural dapat menyebabkan keterbatasan ruang sipil, kebebasan berkumpul, dan berekspresi.
Pada Selasa 17 Mei 2022, Kelompok Kerja (Pokja) Pendanaan LSM kembali melakukan Dialog Publik secara daring untuk mendorong kebijakan baru Dana Abadi LSM bagi penguatan LSM dan pemberdayaan warga. Pokja Pendanaan LSM terdiri dari INFID, KAPAL Perempuan, Konsil LSM, Transparansi Internasional Indonesia, Perkumpulan Prakarsa, Indonesia untuk Kemanusiaan, Yayasan Penabulu dan REMDEC Swaprakarsa.
Membuka dialog publik, Maria Anik Wusari Deputi Direktur Yayasan Penabulu menyatakan peningkatan kualitas dan kapasitas Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan bagian dari visi misi dan perencanaan pembangunan pemerintah yaitu konsolidasi demokrasi untuk penguatan kesetaraan dan kebebasan. Namun demikian dukungan negara kepada LSM khususnya hal pendanaan masih jauh bila dibandingkan dengan bantuan pendanaan kepada partai politik.
Kastorius Sinaga Staf Khusus Menteri Dalam Negeri Bidang Politik dan Media menekankan tren negatif krisis LSM, diantaranya peran LSM yang semakin merosot meskipun jumlahnya semakin banyak yang disebabkan adanya distrupsi pada nilai-nilai LSM dan terjebak dalam demokratisasi yang struktural. Kastorius juga menyampaikan permasalahan pendanaan LSM yaitu merosotnya program dan dana dari donor.
Arie Sujito Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan bahwa LSM seringkali tidak mendapatkan akses pembangunan dengan beragam argumen, diantaranya alasan independensi dan non partisan sehingga LSM harus mencari dana di luar anggaran negara (APBN). Oleh karenanya perlu ada upaya untuk mengubah cara pandang terhadap LSM bahwa demokrasi di Indonesia juga terbentuk karena adanya partisipasi LSM. Untuk itu pendanaan dari publik atau negara melalui sumber tertentu menjadi alternatif penting sebagai bentuk komitmen negara akan penguatan LSM yang selama ini telah bekerja untuk masyarakat dalam skema demokrasi.
Zumrotin K. Susilo Direktur Remdec Swaprakarsa sekaligus Perwakilan Pokja Peraturan Presiden Pendanaan LSM yang telah berkiprah di LSM selama 46 tahun menyampaikan bahwa gagasan pendanaan LSM dari negara sangat diperlukan karena LSM memiliki ide-ide kreatif yang lebih cepat dibandingkan dengan pemerintah. Contohnya, gagasan tentang keluarga berencana dan badan perlindungan konsumen yang sudah lebih dulu dilakukan oleh LSM dan kemudian diadopsi oleh Pemerintah
Dana Abadi LSM yang dapat diwujudkan melalui Peraturan Presiden Dana Abadi LSM dapat menjadi jawaban atas trend masalah saat ini, seperti; menurunnya indeks demokrasi, stagnasi indeks korupsi, dan masih minimnya dukungan negara kepada peran LSM. Pokja telah menyusun surat bersama kepada Presiden agar segera menyetujui pembentukan Dana Abadi LSM. Perpres Dana Abadi LSM akan menjadi bukti negara hadir dalam memperkuat demokrasi dan pemberdayaan warga.
Kelompok Kerja Perumusan Perpres Pendanaan LSM
Indonesia untuk Kemanusiaan, INFID, Institut Kapal Perempuan, Konsil LSM, Prakarsa, Remdec Swaprakarsa, Transparansi Internasional, Yayasan Penabulu
Narahubung:
- Bona Tua – 081296414142
- Hamong Santono – 081511485137
Responses