Memperbaiki Tata Kelola, Memperbaiki Relasi Manusia dan Alam
Covid-19 menjadi awal yang menggegerkan dunia di awal 2020. Satu per satu, pemerintah di tiap-tiap negara menerapkan lockdown demi mengantisipasi menyebarnya virus ini. Spekulasi menyeruak, mencoba menemukan sumber utama dan penyebab awal virus SARS-CoV-2 yang pertama kali dilaporkan menyebar di Wuhan. Hingga akhir 2020, laman Satgas Penanganan Covid-19 merilis hampir 1,8 juta orang meninggal dunia akibat pandemi di seluruh dunia.
Zoonosis menjadi nomenklatur baru dalam diskursus lintas kalangan, yakni penyakit yang disebabkan oleh virus atau bakteri yang ditransmisikan dari hewan ke manusia. Proses ini dimungkinkan terjadi karena semakin sempitnya ruang bagi hewan di alam liar sebagai akibat eksploitasi sumberdaya alam dengan pandangan antroposentris Baconian yang mereduksi hubungan manusia dan alam.
Mengutip Kompas edisi 18 Juni 2020, berdasarkan faktor pemicunya, zoonosis dikategorikan menjadi tiga kelompok; pertama, kerusakan lingkungan karena deforestasi dan kehilangan habitat; kedua, praktik-praktik budaya, terutama praktik mengkonsumsi satwa liar eksotik; ketiga, peternakan intensif yang menyebabkan hubungan antarternak sangat dekat satu sama lain sehingga membuka peluang menyebarnya patogen.
Sains modern mendapat tantangan baru manusia: menemukan vaksin yang tepat untuk menghadapi SARS-CoV-2. Yang harus dipahami, vaksin berfungsi untuk membangun kekebalan tubuh secara spesifik terhadap virus tertentu, bukan seperti obat yang dibuat untuk menyembuhkan. Sehingga ada masalah mendasar yang harus diselesaikan, yakni memperbaiki relasi manusia dengan alam.
Alam bukanlah keberadaan yang terpisah dari manusia, keduanya hidup dan saling berketergantungan: alam hidup karena manusia, demikian manusia hidup karena alam. Sehingga hilangnya keseimbangan pada salah satunya menyebabkan ketimpangan pada yang lain. Zoonosis jadi contoh nyata, ketika rusaknya ekosistem satwa di alam mengakibatkan mereka harus kehilangan habitat dan “lebih dekat” dengan kita, dan pada akhirnya berimbas buruk pada kesehatan manusia. Patogen dalam tubuh kelelawar, misalnya, tak memberikan dampak karena daya tahan fisiknya, berbeda kondisi bila patogen itu berpindah ke manusia.
Miris ketika menyaksikan botani dan hewan terus jadi korban bahkan di masa pandemi. Kompas, melansir dari laman gakkum.menlhk.go.id, menyebutkan hingga pertengahan Juli 2020 terjadi gangguan kerusakan hutan mulai dari Sumatera hingga Papua. Penebangan pohon secara ilegal menjadi kasus yang paling dominan, selain penambangan ilegal dan perdagangan satwa liar.
Adaptasi new-normal selaiknya tidak dipahami hanya dengan menggunakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak. Lebih jauh lagi, yakni melakukan kebiasaan baru untuk melihat alam sebagai diri kita yang wewujud “di luar”, sehingga kita berkewajiban menjaga, melindungi, dan melestarikannya sebagaimana kita memperlakukan diri sendiri.
Terbitnya PermenLHK No. 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial membuka peluang legal bagi masyarakat yang berada di sekitar hutan untuk meningkatkan ekonomi dengan tetap menjaga kelestarian alam. Ada beberapa skema yang bisa dimanfaatkan, yakni hutan desa, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan adat, dan kemitraan kehutanan. Tantangannya adalah melahirkan kreasi dan inovasi yang berkelanjutan, semisal wisata alam, PLTA, dan pengembangan agroforestri berbasis kekhasan lokal.
Skema-skema tersebut setidaknya mampu menjadi pemantik dalam mewujudkan tata kelola baru atas hutan dan lahan yang adil dan lestari untuk kebaikan alam di masa depan. Kita pernah merasakan satu kebaikan di masa lockdown; kualitas udara yang jauh lebih baik dari sebelumnya karena polusi yang berkurang drastis. Bayangkan jika kualitas udara yang baik itu mampu dipertahankan dengan pengelolaan lahan dan hutan yang lebih baik, bukan karena Covid-19.
Sumber: http://gemawan.org/3647-memperbaiki-tata-kelola-memperbaiki-relasi-manusia-dan-alam
Responses