Baritan: Tradisi 1 Muharram di Desa Ponggok Blitar
Baritan, merupakan tradisi warisan dari leluhur masyarakat Jawa, utamanya di Kabupaten Blitar. Acara ini juga disebut dengan selamatan di Awal Tahun Baru Islam. Beraneka ragam tradisi di Indonesia yang masyarakatnya terdiri dari beraneka ragam suku bangsa. Mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani yang sangat menjunjung tinggi tradisinya. Ketakutan mereka terhadap bencana alam, kematian, kelaparan, dan hal-hal lain yang mengancam kehidupannya telah menimbulkan berbagai tradisi yang hingga kini masih tetap dijalankan melalui tradisi ini.
Baritan adalah upacara adat yang berkaitan dengan kepercayaan masyarakat dan peristiwa alam. Tradisi ini tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Baritan mempunyai tujuan yaitu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan penghidupan kepada umat manusia. Selain itu, juga sebagai media untuk memanjatkan doa keselamatan.
Peringatan ini biasanya dilaksanakan ketika malam Jumat Legi atau malam Selasa Kliwon di bulan Muharram, berdasarkan tradisi masing-masing lingkungan. Ada juga yang melaksanakan baritan itu yang penting masih awal bulan Muharram atau Sura, tidak selalu pada malam Jumat legi atau Selasa Kliwon.
“Sebenarnya kalau istilah baritan, sebaiknya dilaksanakan mapak tanggal. Artinya malam tahun baru 1 Muharram/Sura.” Ujar Mbah Sur, salah satu tokoh masyarakat yang biasa sebagai tukang hajat dalam acara kenduri.
Hal yang harus ada dalam tradisi baritan ini adalah takir plonthang, yaitu wadah makanan dari daun pisang yang dibentuk kotak persegi, inilah yang dinamakan takir. Dan di setiap ujung takir ini diselipkan sepotong janur kuning yang ditancapkan tegak lurus, ini yang disebut dengan plonthang. Takir plonthang ini adalah simbol masyarakat yang memanjatkan doa harapan di awal tahun baru hijriah, serta adanya janur kuning ini menjadi wujud tunas baru (muda) dari pohon kelapa, yang dijadikan sebagai simbol harapan baru dan kehidupan baru di tahun yang baru bisa segera tercapai.
“Sebaiknya, dalam acara baritan tidak meninggalkan takir plonthang. Karena jikalau digantikan dengan wadah makanan masa kini, seperti foam atau kotak kertas, nilai sakralnya kurang. Karena tradisi ini harus terus kita lestarikan, agar anak cucu kita nanti juga tahu apa sebenarnya makna dari takir plonthang ini.” Ucap salah satu warga yang merasa miris karena ada salah satu warga yang tidak memakai takir plonthang.
Jumlah takir yang dibawa saat baritan menyesuaikan jumlah anggota keluarga. Jika di rumah ada empat orang, maka takir yang dibawa baritan juga empat. Takir kemudian ditata berjajar dipinggir jalan. Setelah semua hadir dan takir tertata rapi, lantunan doa mulai dipanjatkan. Dalam bahasa Jawa sering disebut dikajatne artinya diikrarkan dan disaksikan seluruh warga agar harapan masyarakat di tahun yang baru ini bisa terwujud. Tukang hajat, atau orang yang memimpin doa adalah tokoh masyarakat setempat. Peng-hajat-an ini dilakukan dalam bahasa Jawa.
Setelah acara selesai, ditutup dengan doa dengan lafal Arab yang biasanya dibacakan oleh pemuka Agama Islam di daerah setempat. Uniknya, jika ada umat agama lain ikut baritan, maka doa yang dipanjatkan tetap dalam doa-doa umat Islam dan tidak ada protes di antara umat yang lain. Inilah salah satu kekayaan toleransi yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia. Setelah prosesi doa ini selesai, takir yang dibawa ini ditukar dengan milik warga yang lain. Kemudian, makanan di takir dimakan bersama-sama oleh seluruh warga. (Ref:Ema &Fita)
Responses