Inisiasi Pengembangan Sistem Data dan Standar Produksi Kayu Manis
Kerinci (16/10/2010) – Kayu manis merupakan salah satu rempah asli Indonesia yang memiliki pesona di pasar global, karena sebagian besar kebutuhan kayu manis dunia dipasok dari Indonesia, terutama Kerinci. Kayu manis dari Kerinci populer karena kandungan volatil yang tinggi. Kabupaten Kerinci yang terletak 3.805 mdpl adalah kawasan penghasil pertanian dan perhutanan. Tanah yang subur adalah anugerah dari tingginya kandungan belerang dari Gunung Kerinci, gunung berapi tertinggi di Indonesia. Tak heran jika kopi dan kayu manis berlimpah di Kerinci.
Kayu manis, merupakan produk tanaman hasil hutan bukan kayu (HHBK / NTFP) yang secara administratif berada dalam naungan kebijakan Kementerian Kehutanan. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P38 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial memungkinkan petani kayu manis menjadi bagian dari sistem pengelolaan hutan lestari dilaksanan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan, dan dinamika sosial. Di Kabupaten Kerinci, ijin perhutanan sosial berada dalam tanggung jawab Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Kerinci.
KPHP Kerinci mendorong agar kelompok tani yang memiliki ijin perhutanan sosial memiliki rencana kerja dan rencana hasil pemasaran produk HHBK. Namun diakui oleh Kepala KPHP Kerinci, Neneng Susanti, bahwa pihaknya kurang dapat mendampingi petani dan memantau hasil produksi kayu manis.
“KPHP kekurangan sumber daya yang dapat mengawal implementasi perhutanan sosial. Sementara ini baru ada satu kelompok tani di Desa Masgo, Kecamatan Gunung Raya yang secara intensif kami dampingi. Ada 20 petani di desa itu (Masgo) yang juga menghasilkan kayu manis,” ungkap Neneng.
Sebagai salah satu produk rempah, kayu manis atau di Kerinci disebut “kulit manis” patut mendapat perhatian khusus, mengingat besarnya kebutuhan dunia terhadap tanaman ini. Dalam penelusuran rantai nilai perdagangan kayu manis di Kabupaten Kerinci, ditemukan jika tidak ada standar baku produksi hingga penanganan pasca panen yang menjadi acuan bagi smallholder (petani dan pedagang kecil). Kasus yang banyak ditemukan adalah rendahnya kesadaran keselamatan dalam pemanenan kayu manis.
Abduhrahman, salah satu pedagang di Kabupaten Kerinci mengatakan, “Petani atau pekerja pakai alat yang tidak sesuai peruntukan dan mengabaikan K3S. Misalnya mereka pakai pisau dapur untuk memisahkan kulit kayu dengan batang. Ketika pekerja mengalami luka dan darahnya merembes pada kulit manis, berpengaruh pada cacatnya kualitas.”
Dalam diskusi multipihak dan lobi yang dilakukan Penabulu di Kabupaten Kerinci, baik smallholder maupun KPHP sangat terbuka dengan rencana inisiasi pengembangan sistem data yang dapat terintegrasi dengan program perhutanan sosial. Jika kelak ada sistem data yang mampu melacak ketelusuran produk kayu manis, maka standar produksi sejak dari budidaya, pemanenan, hingga pasca-panen, termasuk muatan budaya lokal menjadi sangat dibutuhkan oleh petani dan pedagang agar kualitas kayu manis dari Kerinci. Peneliti dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) dan Ghent University Belgia menyatakan kesediaannya mendukung penyusunan standar operasional prosedur (SOP) untuk produksi dan pasca-panen bagi petani kayu manis di Kerinci. Semua pihak bersepakat memiliki misi yang sama untuk memperbaiki rantai nilai kayu manis Kerinci yang di Eropa dikenal dengan sebutan “Koerintji Cinnamon”. (NP)
Responses