Menyelamatkan Sumber Daya Alam, Sorotan atas UU 3 Tahun 2020
Sejumlah tokoh, ahli dan pegiat yang tergabung dalam Tim Uji Formil UU Minerba telah mengajukan gugatan uji formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konferensi pers yang dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK), Tim Uji Formil UU Minerba menyampaikan delapan alasan permohonan pengujian UU Minerba ke MK.
Dari delapan alasan permohonan yang diajukan, setidaknya ada empat hal yang dapat dianalisis. Pertama, terkait dengan UU Minerba – saat masih sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) – tidak memenuhi kualifikasi sebagai RUU yang dapat dilanjutkan pembahasannya (carry over). Kedua, Pembahasan RUU Minerba dilakukan secara tertutup. Ketiga, Pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keempat, Rapat dan pengambilan keputusan dalam Rapat Kerja Komisi VII dan Rapat Paripurna DPR tidak memenuhi syarat karena dilakukan secara virtual.
Pertama, RUU Minerba pada pokoknya tidak memenuhi unsur sebagai RUU yang dapat diteruskan pembahasannya atau sering disebut sebagai mekanisme carry over dalam pembentukan undang-undang. Berdasarkan Pasal 71A Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan , RUU yang masuk dalam kategori carry over harus memenuhi syarat, diantaranya telah dilakukan pembahasan DIM.
“Dalam hal pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (1) telah memasuki pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan Rancangan Undang-Undang tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, Presiden, dan/atau DPD, Rancangan Undang-Undang tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan”
Pasal itu menyatakan carry over atau lanjutan pembahasan RUU harus memenuhi syarat telah dilakukan pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya. Pada faktanya, DPR periode sebelumnya tidak satupun membahas DIM RUU Minerba dan cenderung tidak ada pembahasan dan laporan hasil pembahasan DIM.
Kedua, pembahasan RUU Minerba dilakukan secara tertutup. Pembahasan RUU Minerba yang tertutup pada prinsipnya melanggar asas keterbukaan. Pasal 5 UU 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa “dalam membentuk Peraturan Perundang-Undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, meliputi: kejelasan tujuan; kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; keterbukaan”.
Pasal 229 UU 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menyatakan bahwa “semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup”. Selanjutnya dalam Pasal 246 Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib, yang pada pokoknya menyatakan semua rapat di DPR bersifat terbuka. Sifat terbuka harus dimaknai bahwa sepanjang undang-undang tersebut menyangkut kepentingan umum, maka rapat atau pembahasan undang-undang terbuka atau dapat diakses oleh publik. Kalaupun tertutup alasannya harus menyangkut sifat rahasia negara atau kesusilaan.
Penjelasan asas keterbukaan dalam undang-undang a quo mengatakan bahwa dalam “pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka”. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Pembahasan yang dilakukan secara tertutup tentu berimplikasi pada ketiadaan partisipasi publik dan stakeholder terkait. Kenyataan tersebut menghilangkan kesempatan kelompok masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan memberikan masukan terkait dengan kondisi tata kelola pertambangan yang sebenarnya terjadi di daerah. Sementara itu, di sisi yang lain beberapa kelompok masyarakat dan institusi perguruan tinggi yang mengajukan permohonan audiensi condong diabaikan.
Ketiga, pembahasan RUU Minerba tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Konstitusi mengatur kewenangan dalam fungsi legislasi. Pasal 22D UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama”.
Keterlibatan DPD dalam pembentukan undang-undang secara gamblang diatur dalam Pasal 249 UU MD3. Pada pokoknya DPD mempunyai kewenangan membahas otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya. Kewenangan DPD dalam proses pembentukan undang-undang juga telah diperkuat oleh Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 92/PUU-X/2012. Putusan a quo memperkuat ketentuan bahwa RUU yang berasal dari DPR harus menyampaikan surat kepada Presiden dan DPD; DPD menyampaikan pandangan dalam Pengantar Musyawarah Pembukaan Pembicaraan Tingkat I; DPD menyampaikan DIM; DPD ikut membahas pada Pembicaraan Tingkat I dan DPR menyampaikan pendapat mini pada Pengambilan Keputusan Tingkat I berkaitan dengan kewenangan DPD.
Indikasi kuat tidak dilibatkannya DPD dalam proses pembahasan UU Minerba dapat dilihat dari ketiadaan ketentuan Pasal 22D UUD NRI 1945 dalam konsideran mengingat UU Minerba. Kenyataan itu membenarkan bahwa sesungguhnya DPD tidak diikutsertakan mulai dari menyampaikan DIM, melakukan pembahasan pada Pembicaraan Tingkat I serta ketiadaan pendapat mini pada Pengambilan Keputusan Tingkat I. Fakta ini sekali lagi menunjukkan arogansi lembaga DPR kepada DPD dalam fungsi legislasi dan dinamika ketatanegaraan Indonesia.
Keempat, rapat dan pengambilan keputusan dalam Rapat Kerja Komisi VII dan Rapat Paripurna DPR tidak memenuhi syarat karena dilakukan secara virtual. Rapat dan Pengambilan Keputusan dalam Rapat Kerja Komisi VII dan Rapat Paripurna DPR pengesahan RUU Minerba dilakukan dalam suasana batin melawan Covid-19. Sehubungan dengan kondisi tersebut, maka pada saat itu “dipaksakanlah” pengesehan RUU Minerba menjadi undang-undang, meskipun dilakukan secara virtual. Pengesahan melalui ruang virtual secara otomatis mengindikasikan bahwa ada sebagian besar anggota DPR tidak hadir secara fisik. UU MD3 menyatakan bahwa rapat DPR dapat mengambil keputusan jika dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota rapat yang terdiri atas lebih dari separuh unsur Fraksi. Kehadiran di sini dimaknai sebagai kehadiran fisik yang selanjutnya dibuktikan dengan tanda tangan daftar hadir. Rapat virtual hanya dapat dilaksanakan apabila tidak mengambil keputusan dan belum diatur dalam tata tertib DPR.
Berbagai fakta hukum di atas menunjukkan bahwa pembahasan dan pengesahan RUU Minerba menjadi undang-undang menyisahkan problem hukum. UU Minerba memiliki problem etik dan problem yuridis sejak dari awal pembentukannya. Oleh sebab itu, sangat wajar bila sejumlah kalangan menyoal UU Minerba di MK karena dipandang kehadirannya tanpa moralitas hukum yang benar dan patut dalam dimensi hukum dan politik.
Keempat hal itu pada prinsipnya bertentangan dengan ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Pembahasan yang dilakukan secara kilat dan dilakukan secara tertutup mengindikasikan ada sesuatu yang disembunyikan. Secara logika, sangat tidak mungkin bila DIM setebal 938 halaman pembahasannya dilakukan dengan jangka waktu hanya dua minggu atau relatif hanya kurang lebih sepuluh hari. Publik dapat berasumsi bahwa hal demikian memungkinkan terjadinya korupsi politik dalam pembentukan hingga pengundangan RUU menjadi UU Minerba. Asumsi tersebut dapat dibenarkan jika merujuk kepada hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2009-2018, yang menyatakan bahwa sektor sumber daya alam menyimpan potensi korupsi yang sungguh luar biasa.
Selanjutnya ketiadaan partisipasi publik sudah pasti bertentangan dengan konstitusi yang menyatakan bahwa “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Ketiadaan pelibatan kelompok masyarakat dan DPD saat pembahasan mereduksi mekanisme check and balances dalam sistem ketatanegaraan. Ketiadaan ini menunjukkan kekuasaan DPR dan Pemerintah sangat dominan dalam pembentukan undang-undang. Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.
Harapan terakhir di Mahkamah Konstitusi (MK)
Mencermati uraian di atas, sudah sangat wajar bila gugatan tersebut patut mendapatkan dukungan publik yang seluas-luasnya pasalnya menyangkut hajat hidup orang banyak dan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Secara objektif, uraian di atas menunjukkan ada indikasi kuat dan terencana DPR sengaja mengesahkan RUU Minerba menjadi sebuah undang-undang dilakukan di tengah situasi pandemik Covid-19. Jika hal tersebut benar adanya, maka membuktikan bahwa anggota DPR tidak lagi memiliki nurani kemanusiaan tatkala profesi perawat dan dokter harus bertarung nyawa melawan korona. Sementara Pemerintah di sisi lain – dalam hal ini ialah presiden – tidak memberikan koreksi terhadap tindakan tersebut.
Seyogianya presiden saat itu menolak pengesahan RUU tersebut menjadi undang-undang dengan cara tidak membubuhkan tanda tangan, meskipun upaya tersebut tidak serta merta membatalkan undang-undang. Minimal presiden memberikan pesan moral bahwa pemerintah tidak setuju dengan undang-undang a quo yang dapat merusak sumber daya alam melalui kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara.
Perilaku anggota DPR dan Pemerintah sejatinya sama telah menggadaikan sumber daya alam dan hati nuraninya dengan mengesahkan dan mengundangkan RUU Minerba menjadi UU Minerba. Oleh sebab itu, harapan terakhir publik menyelamatkan sumber daya alam dari cengkraman oligarki ada di pundak hakim MK. Fakta hukum dan pemaparan yang dikemukakan setidaknya memberikan gambaran kepada hakim MK bahwa telah terjadi penyelewengan kekuasaan yang luar biasa secara nyata dan terjadi pelanggaran etik dan yuridis pengesahan UU Minerba. Publik berharap agar KPK juga mengambil tindakan atas lahirnya UU Minerba, mengingat laporan KPK telah menyatakan potensi korupsi yang luar biasa di sektor sumber daya alam sejak dari hulu hingga hilir. Sinergisitas kedua lembaga menjadi harapan terakhir dalam menyelamatkan sumber daya alam dari kerusakan sekaligus menjadi supporting system terhadap mekanisme check and balances yang perlahan cenderung melemah. Syahdan, proses persidangan terhadap uji formil UU Minerba akan dimulai. Publik berharap agar MK berpihak kepada “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Sumber: https://pushep.or.id/menyelamatkan-sumber-daya-alam-sorotan-atas-uu-3-tahun-2020/
Responses